Oleh : Ohan Supriatna
A. Pendahuluan
Allah swt berfirman dalam al Qur’an surat al-Mujadalah ayat 1:
Artinya:
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sejarah
perkembangan pendidikan Islam, telah muncul seiring perkembangan itu
sendiri, di mana kehadirannya telah menanamkan nilai-nilai ajaran Islam.
Seiring perkembangan Islam dan terbentuknya Masyarakat Islam,
mesjid-mesjidpun mengembangkan peranannya menjadi pusat pengembangan
pendidikan Islam yang dalam pelaksanaannya dikembangkan dalam bentuk
halaqah (learning Circle).
Sistem
pendidikan bagi umat Islam mengoperasikan bidang kegamaan, spiritul,
sosial dan politik. Sistem nilai Islam tersebut telah menciptakan
beberapa perbedaan dasar antara sistem pendidikan Islam dan modern baik
di Timur maupun di Barat.
Klasifikasi
perkembangan pendidikan islam menurut Harun Nasution terbagi kedalam
tiga periode yaitu zaman klasik berlangsun sejak awal kemajuan Islam
(650-1000 M), hingga masa disintegrasi (1000 M-1250 M) yaitu dari zaman
Nabi Muhammad SAW., sampai runtuhnya bani Abbasiyyah.
Zaman
pertengahan berlangsung dari zaman kemunduran (1250-1500 M), masa
ketiga kerjan Mongol Utsmani dan Safawi (1500-1700 M), dan masa
kemunduran II (1799-1800 M) yang sejak runtuhnya bani Abbsiyyah ssampai
antara abad 17 dan 18 Hijriyah Pada Abad pertengahan ini yang banyak
berperan dalam bidang pendidikan adalah Sulthan Mahmud II, beliau
terkenal dengan pelopor pembaruan pendidikan.
Zaman
Modern (kontemporer)/zaman pembaruan, berlangsung dari tahun 1800
hingga sekarang, yang ditandai dengan pergolakan dan kebangkitan Umat
Islam diseluruh dunia. Pada zaman modern ini yaitu sejak abad 18 H, 19 H
sampai sekarang. Pola pembaharuan pendidikan dirintis oleh Muhammad bin
Abdul al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin al-Afgani
dan Muhammad Abduh (akhir abad -19 H). dalam pembabakan ini sifatnya
harus muthlak demikian. Akan tetapi pembabakan ini dimaksudkan untuk
mempermudah memahami dari sehi sejarah secara kronologis.
Dalam
makalah ini kami akan membahas pemikiran pendidikan pada zaman klasik
dengan tokoh yang menjadi sorotan utama adalah Burhanuddin al Islam al
Zarnuji. Walaupun secara langsung biografi kelahirannya tidak dapat
diketahui secara pasti namun yang jelas beliau menghiasi indahnya dunia
serta memberi warna dengan corak sumbang sih pemikirannya sekitar tahun
750 – 1250 M.
B. Riwayat Hidup
Al
Zarnuji mempunyai nama lengkap Burhanuddin al Islam al Zarnuji. Tanggal
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, namun tanggal wafatnya
terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan beliau wafat pada 591 H/1195
M, dan yang lain mengatakan beliau wafat pada 840 H / 1243 M (Abudin
Nata, 2000). Hidup beliau semasa dengan Ridho al Din al Naisaburi,
antara tahun 500 – 600 H. tidak ada keterangan yang pasti mengenai
tempat kelahirannya. Namun melihat dari nisbahnya, al Zarnuji
berdasarkan data dari para peneliti mengatakan bahwa beliau berasal dari
Zarnuji, suatu daerah yang dikenal hingga kini dengan nama Afghanistan.
Al
Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand, dua kota yang menjadi
pusat keilmuan dan pengajaran. Saat itu masjid-masjid di kedua kota itu
dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang diasuh antara lain
oleh Burhanuddin al Marghinani, Syamsuddin Abd al Wajdi Muhammad bin
Muhammad bin Abd, dan al Sattar al Amidi. Selain itu, al Zarnuji juga
belajar pada Rukn al Din al Firqinani, seorang ahli fiqih, sastrawan dan
penyair (w.594 H / 1196 M), Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu
kalam, sastrawan dan penyair (w. 564 H / 1170 M), dan Rukn al Islam
Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang
mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqh, sastra dan syair (w.573 H /
1177 M)
Al
Zarnuji selain ahli dibidang pendidikan dan tasawuf juga menguasai
bidang-bidang lain seperti sastra, fiqh, ilmu kalam dan sebagainya.
C. Situasi Pendidikan pada Masa al Zarnuji
Dalam sejarah pendidikan Islam, terdapat lima tahap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Pertama, pendidikan pada masa nabi Muhammad saw (571–632 M). Kedua, pendidikan pada masa khulafaurrosiddin (632-661 M). Ketiga, pendidikan pada masa bani Umayyah di Damsyik (661– 750 M). Keempat, pendidikan pada masa jatuhnya kholifah di Baghdad (1250-1800 M). Kelima, pendidikan pada masa modern (1800-sekarang).
Dari
periodisasi di atas, al Zarnuji hidup pada masa keempat dari periode
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, antara 750-1250 M. Dalam
catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan peradaban Islam,
terutama dalam bidang pendidikan Islam. Pada masa itu kebudayaan Islam
berkembang pesat dengan ditandai oleh tumbuhnya berbagai lembaga
pendidikan, mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi.
Diantaranya adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al
Mulk (457 H/1106 M), Madrasah al Nuriyah al Kubra, didirikan oleh
Nuruddin Muhammad Zanki (563 H/1167 M), Madrasah al Mustansyiroh
didirikan oleh kholifah Abbasyiah al Mustansir Billah di Baghdad (631 H /
1234 M).
Selain
ketiga madrasah tersebut, masih banyak lembaga pendidikan Islam yang
tumbuh dan berkembang pesat pada zaman al Zarnuji. Dengan informasi
tersebut, tampak jelas bahwa beliau hidup pada masa ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam mengalami puncak kejayaan, yaitu pada masa Abbasyiah
yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir Islam ensiklopedik yang
sukar ditandingi. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut sangat
menguntungkan bagi pembentukan al Zarnuji sebagai seorang ilmuwan atau
ulama yang luas pengetahuannya.
D. Konsep Pendidikan al Zarnuji
Konsep
pendidikan al Zarnuji tertuang dalam karya monumentalnya, kitab “Ta’lim
al Muta’allim Thuruq al Ta’allum“. Kitab ini diakui sebagai karya
monumental dan diperhitungkan keberadaannya terbukti para peneliti dan
ilmuan muslim maupun orientalis menjadikan kitab tersebut sebagai salah
satu rujukan.
Kemudian selain dari pada itu, content/isi dari kitab ta’lim tersebut
kalau diibaratkan seperti sebuah cabai rawit kecil tapi pedas, artinya
tidak hanya metode belajar tetapi juga tujuan, prinsip-prinsip dan
strategi belajar yang terkandung dalam kitab tersebut didasarkan pada
moral religius. Bahkan di negara kita Indonesia setiap lembaga
pendidikan klasik maupun modern seperti pesantren tidak pernah ada yang
meninggalkan mengkaji dan menjadikan kitab ta’lim sebagai salah satu pegangan dalam mengarungi samudra kehidupan.
Dari pembahasan kitab ini dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan al Zarnuji, antara lain:
1. pengertian ilmu dan keutamaannya;
2. niat belajar;
3. memilih guru, ilmu, teman, dan ketabahan dalam belajar;
4. menghormati ilmu dan ulama;
5. ketekunan, kontinuitas dan cita-cita luhur;
6. permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya;
7. tawakal kepada Allah swt.;
8. masa belajar;
9. kasih sayang dan memberi nasihat;
10. mengambil pelajaran;
11. wara’ (menjaga diri dari yang subhat dan haram) pada masa belajar;
12. penyebab hafal dan lupa;
13. masalah rizki dan umur.
Dalam buku The Muslim Thoeries of Education During The Middle Ages, Abdul Muidh Khan menyimpulkan ketiga belas bagian tersebut dalam tiga cakupan besar, yaitu, the devision of knowledge, the purpose of learning, dan the method of study (Abudin Nata, 2000).
a. Pembagian Ilmu
Al Zarnuji membagi ilmu pengetahuan dalam empat kategori. Pertama,
ilmu fardhu ‘ain yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim
secara individual. Hal ini berdasarkan hadist nabi tentang mencari ilmu.
“Mencari ilmu wajib bagi setiap muslim dan muslimah”. Adapun
kewajiban menuntut ilmu yang pertama kali harus dilaksanakan adalah
mempelajari ilmu tauhid baru kemudian ilmu lainnya. Kedua, Ilmu
fardhu kifayah yaitu ilmu yang kebutuhannya hanya dalam saat-saat
tertentu saja seperti ilmu shalat jenazah. Selain itu seperti ilmu
pengobatan, ilmu astronomi juga masuk kategori fardhu kifayah. Ketiga, ilmu haram yaitu ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu nujum yang digunakan untuk meramal. Keempat, ilmu jawaz yaitu ilmu yang hokum mempelajarinya boleh karena bermanfaat bagi manusia, seperti ilmu kedokteran.
b. Niat dan Tujuan Belajar
Mengenai
niat dan tujuan belajar, al Zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar
dalam belajar adalah untuk mencari keridhaan Allah swt., memperoleh
kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada
diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran
Islam, dan mensyukuri nikmat Allah swt.
Sehubungan
dengan hal ini, al Zarnuji mengingatkan agar setiap penuntut ilmu tidak
sampai keliru menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar diniatkan
untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan
dan kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar, tentu ia akan
merasakan kelezatan ilmu dan amal serta berkuranglah kecintaannya pada
harta dunia, sebagaimana hadis, “sesungguhnya pokok dari semua pekerjaan bergantung kepada niat”.
عن
علقمة بن وقاص الثلي سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت
رسول الله ص-م يقول إنما الأعمال بالنيات وإنمالكل امرئ مانوى فمن كانت
هجرته دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هجر إليه
Hadist
nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh al Qomah bin Waqosh al Laitsi
bahwa ia berkata ; aku mendengar Umar bin Khatab ra. Bawha ia berkata
diatas mimbar; aku mendengar rasulallah saw bersabda : “tiap-tiap amal
perbuatan harus disetai dengan niat, balasan bagi setiap amal tergantung
kepada yang diniatkan. Barang siapa yang berhijrah untuk dunia atau
istri yang dinikahinya maka hijrahnya sesuai dengan yang diniatkannya”.
c. Metode Pembelajaran
Dalam kitab Ta’lim Muta’alim al Zarnuji menjelaskan bahwa metode pembelajaran meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua,
metode bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran,
memilih guru, memilih teman, dan langkah-langkah dalam belajar.
Cara
memilih pelajaran; bagi orang yang mencari ilmu sebaiknya mendahulukan
memilih/mempelajari ilmu yang dibutuhkan dalam urusan-urusan agamanya,
seperti ilmu tauhid. Kemudian, cara memilih guru; sebaiknya memilih guru
yang lebih alim, wara’ dan umurnya lebih tua. Lalu, memilih teman;
mencari teman yang rajin, wara’ dan berwatak baik, mudah faham akan
pelajaran, tidak malas, tidak banyak bicara dsb. Adapun
langkah-langkah dalam belajar al Zarnuji dalam hal ini mengkhususkan
pada aspek teknik pembelajaran, menurut Grunebaum dan Abel, terdapat
enam hal yang menjadi sorotan al Zarjuni yaitu the curriculum and
subject matter, the choice of setting and teacher, the time for study,
dynamic of learning and the student’s relationship to other.
d. Pemikiran al Zarnuji tentang pola Hubungan Guru dan Murid
Ada
beberapa pemikiran al Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim yang memberi
acuan terhadap pola hubungan guru dan murid, yaitu sebagai berikut:
Murid
tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan
pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru), menjadi
semangat dan dasar adanya penghormatan murid terhadap guru. Posisi guru
yang mengajari ilmu – walaupun hanya satu huruf – dalam konteks
keagamaan disebut sebagai bapak spiritual, sehingga kedudukan guru
sangat terhormat dan tinggi, yang memberi konsekuensi bagi sikap dan
perilaku murid sebagai manifestasi penghormatan terhadap guru baik dalam
lingkungan formal maupun nonnformal. Sementara tingginya ilmu yang
dimiliki oleh guru, menjadikan fungsi guru seperti dokter, menunjukan
nilai kepercayaan dan pentingnya nasihat bagi murid dalam mencapai
tujuan belajar yang optimal.
Kontekstualisasi
hubungan guru dan murid, menurut al Zarnuji, menunjukan bahwa
penempatan guru pada posisi terhormat terkait oleh sosok guru yang
ideal. Yaitu guru yang memenuhi kriteria dan kualifikasi kepribadian
sebagai guru yang memiliki kecerdasan ruhaniah dan tingkat kesucian
tinggi, disamping kecerdasan intelektual. Dalam bahasa al Zarnuji, guru
ideal adalah guru yang alim, wira’i dan mempunyai kesalehan sebagai
aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab terhadap amanat
yang diemban untuk menggapai ridho Allah swt.
Dengan
demikian, pemikiran al Zarnuji berupaya membawa lingkungan belajar pada
tingkat ketekunan dan kewibawaan guru dalam ilmu dan pengajarannya.
Sedangkan murid sebagai individu yang belajar, menunjukan keseriusan dan
kesungguhan dalam belajar sebagai manifestasi daya juang dalam
pencapaian ilmu yang diajarkan oleh guru dalam rangka mencari ridho
Allah swt., dan untuk menuai kemanfaatannya. Karena itu, pola hubungan
guru murid yang tercipta adalah pola hubungan timbal balik yang
menempatkan posisi guru murid sesuai proporsi masing-masing menuju
tercapainya tujuan pendidikan yang optimal, yaitu terbentuknya pribadi
yang berakhlaqul karimah.
Kontekstualisasi
terhadap hubungan guru murid saat sekarang adalah pemahaman terhadap
pemikiran al Zarnuji yang signifikan yang bernafas pada religius ethics. Dengan
mengambil nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam pemikiran al
Zarnuji tersebut, berarti kita telah menggali dan menghidupkan kembali
nilai-nilai etika dalam proses pendidikan dan sekaligus menjadikannya
sebagai dasar pembentukan akhlak dan landasan dalam membina hubungan
yang harmonis antara guru dengan murid yang berorientasi pada hubungan
yang etis-humanis.
E. Penutup
Demikian
penjabaran makalah sederhana ini, al Zarnuji adalah tokoh pendidikan
yang keberadaannya tidak pernah padam untuk selalu menghiasi warna
kehidupan bahkan bisa jadi pemikiran pendidikannya yang nota bene lebih
menitik beratkan pada tauhid dan kehidupan bermoral adalah pilihan untuk
saat ini.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : CV. Toha Putra, 1989), h.
Drs. H. Baharuddin, M.Pd.I., Esa Nur Wahyuni, M.Pd., Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2008) h. 51
Ibnu Hajar al Asqolani, Terjm. Ghozirah Abdi Ummah, Fathul Bari, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Azam, 2002) h. 17