BAB I
PENDAHULUAN
Manusia lahir kedunia dari rahim ibu-nya dalam keadaan tidak mengetahui apap-apa dan tidak memiliki ilmu pengetahuan. Namun demikian, Allah Swt telah melengkapi dirinya dengan pendengaran, penglihatan, akaldan hati ytang merupakan bekal dan potnsi sekaligus sarana untuk membina dan mengembangkan kepribadiannya. Secara bertahap melalui jalur pendidikan, potensi dan sarana itu dibina serta dikembangkan sehingga tercapai bentuk kepribadian yang diharapkan. Bentuk kepribadian yang diharapkan dari seorang muslim adalah pribadi yang mampu memimpin dan mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita islam, nilai-nilai yang tertanam dalam jiwanya dan mewarnai corak kepribadiannya.
Dengan demikian, misi pendidikan islam tidak hanya terbatas pada transpormasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan kemampuan intelektual semata, tetapi juga internalisasi nilai-nilai spiritual religius dan nilai etika, yang justru harus mendapat prioritas dan ditempatkan pada posisi tertinggi. Oleh karena itu, pendidikan mengenai spiritual eligius dan moralitas harus ditanamkan kepada anak-anak sedini mungkin. Seperti dikemukakan oleh Dr. Ali Ashraf.”(pengetahuan) tentang keyakinan dan etika harus ditanamkan terhadap seorang anak sejak dari tahap awal, walaupun realisasi spiritual yang sebenarnya merupakan pencapaian terakhir.”
Al-Zarnuji adalah tokoh pendidikan abad pertengahan yang mencoba memberikan solusi tentang bagaimana menciptakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada keduniawian saja, akan tetapi berorientasi akhirat. Karya al-zarnuji yang terkenal yakni” kitab ta’limul al-muta’lim, thariq Al-taallum’, Merupakan salah satu karya kelasik dibidang pendidikan yang telah banyak dipelajari dan dikaji oleh para penuntut ilmu, terutama di pondok pesantren. Materi kitab ini sarat dengan muatan-muatan pendidikan moral spiritual. “Tasawuf” yang jika direalisasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tentu tujuan ideal dari pendidikan islam dapat tercapai.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah segala usaha individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kepribadian dengan jalan membina potensi-potesi yang dimiliknya menuju suatu tujuan tertentuPendidikan islam, ialah segala usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama islam serta menjadikannya sebagai pandangan dan pegangan hidup , sehingga dapat mendatangkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat (Suito & Fauzan: 2003, Hal: 190)
B. Aspek Pendidikan Tasawuf dalam Kitab Ta’limul Muta’llim
Tasawuf adalah Falsafah hidup yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia secara moral lewat latihan-latihan peraktis tertentu, Dan dalam taswuf ini terdapat pokok-pokok ajaran tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi, Dari ketiga pokok ajaran tasawuf tersebut, nampaknya yang ditonjolkan dalm kitab ta’limul muta’lim ini adalah pendidikan tasawuf yang cndrung kepada pokok ajaran tasawuf akhlaki. (Suito & Fauzan: 2003, Hal: 190)
Jadi pendidikan tasawuf adalah suatu sistem pendidikan yang bercorak islam dan berisi ajaran atau faham-faham tasawuf. Pembahasan tentang pendidikan tasawuf ini difokuskan pada kitab ta’limul muta’lim karya al-zarnuji,
1. Taubah
Masalah taubah dalam kitab tersebut memang tidak secara khusus dan eksplisit terdapat keterangan yang membahas pengertian, syarat-syarat, pembagian-pembagian dan aspek-aspek lain yang berkenaan dengan taubah. Karena kitab ini seperti telah dikemukakan bukanlah kitab tasawuf atau yang menekankan bahasannya pada masalah akhlak dalam pengertian umum, namun ia lebih merupakan kitab yang membahas etika dan strategi belajar yang berhasil. Kendati demikian dari beberapa pernyataan pengarangnya, tampak sekali pokok-pokok pikirannya yang bersifat sufsitik dan mengandung ajaran tasawuf.
Dalam salah satu bahasanya, penyusunam kitab ini menulis: “Fa ammama yuritsu al-nisyana fa al-ma’ashi wa katsrat al-dzunuh….” (Penyebab lupa adalah perbuatan maksiat dan banyak dosa). Dari pernyataan ini, jelaslah bahwa konsep sukses belajar dalam perspektif al-zarnuzi adalah harus membersihkan diri dari segala perbuatan dosa dan maksiat.
Upaya yang harus dilakukan oleh seorang penuntut ilmu agar dirinya dapat bersih dari dosa dan maksiat, tak lain adalah dengan melakukan taubah. Taubah yang diharapkan tentunya adalah taubah yang sesungguhnya (taubah nasuha) dan yang sesuai dengan syarat-syarat yang sudah di kemukakan di atas.
Pada topik bahasan yang sama, al-zarnuji mengutip syair Imam syafi’i yang berisi pengaduan kepada gurunya Waki’ mengenai problem hafalan yang kurang baik.
Melalui kutipan syair ini, al-zarnuji ingin mempertegas pernyataanya yang pertama bahwa keberhasilan seorang penuntut ilmu dalam studinya, yang dalam hal ini di tandai dengan kekuatan atau daya ingatnya, adalah sangat ditantukan oleh tingkat keberhasilan menjauhkan dirinya dari dosa dan meksiat.
Kalau dianalisis,ternyata kekuatan atau daya hafal seorang penuntut ilmu di jadikan standar untuk mengukur tingkat keberhasilan belajarnya menurut hemat penulis, hal ini dapat di kembalikan pada pola pendidikan yang berlaku pada saat itu, bahkan smpai kini (terutama di beberapa Negara timur tengah), yaitu pola pendidikan yang lebih mengarah pada verbalistis. Artinya pola pendidikan yang lebih mementingkan aspek ingatan atau hafalan dan tidak terlalu berorientasi pada peningkatan daya kritis, analitis dan sintesis. Sebagai upaya untuk memperolah kemampuan menghafal dan mengingat yang baik, maka para penuntut ilmu diharuskan untuk meninggalkan hal-hal yang dapat manghalanginya,yitu berupa perbuatan dosa dan maksiat. Logikanya adalah bahwa ilmu merupakan cahaya atau karunia allah dan karunianya itu tidak akan dia berikan kepada orang yang berbuat dosa dan maksiat. (Suito & Fauzan: 2003, Hal: 191)
Ketika membicarakan tentang hal-hal yang dapat mendatangkan dan menjauhkan rejki, Al-zarnuji juga menyinggung masalah dosa dan maksiat.
2. Zuhd
Mengenai konsep pendidikan zuhd yang disampaikan oleh al-zarnuji dalam kitabnyata Ta’lim al-muta’alim, dapat di kemukakan sebagai berikut:
a. Dalam bahasanya tentang niat belajar; ia menyatakan bahwa diantara hal yang harus di perhatikan oleh para penuntut ilmu adalah jangan sampai ilmu yang diperolehnya dengan penuh kasungguhan dan susah payah itu di pergunakan sebagai sarana untuk mengejar kehidupan materi duniawi,yang sebenarnya, sedikit nilainya dan tidak abadi.
b. Orang yang sedang dalam proses belajar diharuskan untuk berusaha semaksimal mungkin mengurangi aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan kesibukan duniawi. Sebab hal itu hanya akan menjadi beban pikiran yang pada akhirnya dapat mengganggu dan merusak konsentrasi belajar. Ia tidak boleh merasa sedih dan gelisah karena urusan dunia, sebab kesedihan dan kegellisahan seperti itu tidak membawa manfaat sama sekali, malah akan membahayakan hati, akal dan badan serta dapat merusak perbuatan-perbuatan baik. Sebaliknya ia harus lebih menaruh perhatian pada urusan-urusan yang berorientasi pada kehidupan akhirat. Hanya itulah yang bermanfaat baginya.
Disisi lain, terdapat pernyataan bahwa orang yang terlalu mengejar kehidupan materi akan mengalami kegejapan hati. Sebaliknya mereka yang menaruh perhatian besar pada kehidupan akhirat, hatinya akan bercahaya. Pada bagian lain di tagaskan bahwa kegandrungan terhadap dunia akan menghalangi orang dari perbuatan kebajikan. Tetapi kecendrungan pada akhirat akan membawa kepada amal kebajikan.
Dari beberapa pernyataan diatas,terlihat jelas prinsip pendidikan zuhud yang di ajarkan al-zarnuji, bahwa para penuntut ilmu hendaknya brsungguh-sungguh dalam belajar,dan jangan sampai perhatiannya lebih banyak tercurah pada urusan-urusan yang bersifat dunia. Sebab disamping nilainya yang hina, rendah dan fana, hal itu juga akan berdampak negatif bagi studi yang tengah dijalaninya. Pikiran dan perhatianya yang semestinya terfokus kepada keberhasilan belajarnya, akan terbagi untuk memikirkan hal-hal yang mungkin tidak perlu. Pada akhirnya, hal ini hanya akan menghambat atau bahkan dapat merusak proses belajarnya. Disamping itu, selama dan sesudah masa pencarian ilmu janganlah memiliki orientasi hidup yang melulu mengarah pada materi atau diniatkan untuk mendapatkan jabatan atau pekarjaan karena ilmu, bukanlah prangkat untuk mencari status sosial, popularitas maupun keuntungan materi. Sebaliknya, hendaklah ia memiliki niat yang tulus ikhlas, semata-mata untuk mencari keridhaan allah SWT. Jangan sampai hatinya di kotori dengan tendensi atau tujuan dari luar itu, agar dengan demikian ia dapat merasakan lezatnya ilmu dan amal. (Suito &Fauzan, 2003, Hal: 194)
3. Sabar
Sehubungan dengan sikap sabar, Al-Zaarnuji dalam kitab ta’limul Muta’lim memberikan penegasan akan perlunya sikap sabar dalam segala hal, namun dia juga menyadari bahwa sikap sabar dan tabah ini adalah berat, dalam kitab-nya menyebutkan yang artinya:
Ketahuilah, sabar dan tabah adalah pangkal keutamaan dalam segala hal, tetapi jarang orang yang melakukannya.Oleh karena itu, maka para pelajar yang ingin sukses dalam belajarnya, hendaknya memiliki sifat dan sikap sabar, Al-zarnuji mengatakan:
Maka sebaiknya pelajar mempunyai hati tabah dan sabar dalam belajar kepada sang guru, dalam mempelajari dalam suatu kitab jangan sampai ditinggalkan sebelum sempurna dipelajari, dalam suatu ilmu jangan sampai berpindah bidang lain sebelum memehaminya benar-benar dan juga dalam tempat belajar jangan sampai berpindah kelain daerah kecuali karena terpaksa, kalau hal ini dilanggar dapat membuat urusan jadi kacau balau, hati tidak tenang, waktupun terbuang dan melukai hati sang guru.
Dalam konteks ini nampaknya yang dimaksud oleh pengarang adalah kesabaran dalm sebuah mempelajari kitab, hanya saja di beberapa bagian masih terdapat istilah ilmu yang digunakan sebagai maknanya yang lebih jelas
Pada bagian lain dari kitabnya, Al-Zarnuji juga mengemukakan bahwa perjalanan menuntut ilmu itu adalah suatu perjuangan yang tidak terlepas dari kesusahan dan penderitaan, ia mencontohkan perjalanan nabi Musa AS dalam mencari ilmu yang hamper saja putus asa, dan berkata “Laqad laqina min safarina haza nasabd” (Benar-benar kuhadapi kesaulitan dalam kelanku ini). Karenanya, maka pantas jika menurut para ulama bahwa belajar itu adalah suatu pekerjaan yang lebih mulia yang lagi berperang (jihad), dan tentunya, pahalanyapun besar. Sebab, semakin tinggi tingkat kesulitan dan kepayahan yang dihadapi dalam suatu perjuangna, maka semakin pula pahala yang diperolehnya, kemudian aj-zarnuji juga mengatakan bahwa orang yang bersabar dalam menghadapi kesukitan dan kesusahan dalam menuntut ilm, ia akan mendapatkan kelezatan ilmu yang melebihi kelezatan apapun yang ada di dunia.
Dengan melihat keterangan tentang penting dan perlunya sikap sabar dan tabah seperti dikemukakan diatas, maka sebagaiman ia metupakan unsur pundamental dalam dunia tasawuf, demikian juga dalam masalh belajar/pendidikan, Seorang penuntut ilmuyang ingin sukses dalam belajarnya, harus banyak memiliki kesabaran dan ketabahan. Mencari in\lu adalah suatu perjuangan, dan setiap perjuangan harus menemuai banyak tantangan, rintangan ,dan cobaab, Jika ia berhasil dalam menghadapi semua tantangan, rintangan dan cobaan itu dengan sabar, maka jalan menuju kesuksesan pun terbentang luas. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kesabaran dan ketabahan merupakan kunci atau syarat menuju kesuksesan. (Suito & Fauzan: 2003, Hal: 196)
4. Tawakkal
Dalam masalah ini, al- Zarnuji menulis suatu bab khusus tentang tawakkal. Ia mengatakan bahwa setiap penuntut ilmu harus memiliki sikap tawakkal (pasrah), terutama dalam masalah rezeki. Sebab hal itu, seperti telah disinggung sebelumnya, akan mempengaruhi belajarnya. Perhatian dan konsentrasinya terhadap pelajaran akan terganggu, sehingga hasil belajarnyapun tidak maksimal. Masalah rezeki, demikian al-Zarnuji, janganlah terlalu dikhawatirkan, karena seperti dinyatakan dalam sebuah hadits, mereka yang tengah mempelajari agama Allah, akan dicukupi kebutuhannya dan diberikan rezeki yang tidak terduga sebelumnya. Hal tersebut dinyatakan al-Zarnuji sebagai berikut yang artinya :
“Pelajar harus bertawakkal dalam menuntut ilmu. Jangan goncang karena masalah rezeki, dan hatinya pun jangan terbawa kesana. Abu Hanifah meriwayatkan dari Abdullah Ibnu al-Hasan Az-Zubaidiy, sahabat rasulullah Saw: “Barang siapa mempelajari agama Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya dan memberi rezekidari jalan yang tidak dikirasebelumnya.”
Kemudian, al-Zarnuji menambahkan bahwa kesibukan memikirkan dan mengurusi masalah rezeki, baik berupa pangan maupun sandang (pakaian), hanya akan menghambat seorang penuntut ilmu untuk dapat meraih keberhasilan, yang dilambangkan oleh al-Zarnuji sebagai budi luhur dan akhlak mulia. Dan jika hal itu sampai mempengaruhinya, maka akan sulit baginya untuk menghilangkan pengaruh tersebut. Selanjutnya al-Zarnuji menyarankan hendaknya para penuntut ilmu memperbanyak berbuat kebajikan dan tidak terpengaruh oleh bujukan hawa nafsunya. Ia menulis sebagai berikut yang artinya :
“Karena orang yang hatinya telah terpengaruh urusan rezeki baik makanan atau pakaian, maka jarang sekali dapat menghapus pengaruh tersebut kembali untuk mencapai budi luhur dan perkara-perkara yang mulia. Bagi setiap orang hendaknya membuat kesibukan dirinya dengan berbuat kebajikan, dan jangan terpengaruh oleh bujukan haw nafsunya”.
Dengan memperhatikan pernyatan al-Zarnuji di atas, tampak jelas sekali nilai sufistik atau aspek tasawuf yang ia tekankan dalam teori kependidikannya. Yakni bahwa para penuntut ilmu hendaknya memutuskan hubungan dengan masalah-masalah duniawi (melakukan pola hidup zuhud) dan tidak perlu kuatir akan masalah rezeki. Sebaliknya mereka harus bertawakkal atau pasrah menyerahkan diri secara total kepada Allah Swt.. (Suito & Fauzan: 2003, Hal: 198)
5. Tawadu’ dan Wara’
Berbicara masalah tawadu’, terutama dalam dunia pendidikan dan keilmuan, al-Zarnuji menyatakan bahwa sifat ini mutlak harus dimiliki dan diaplikasikan dalam kehidupan setiap pribadi muslim, khususnya kaum ilmuwan dan para cendikiawannya. Tawadu’ dalam arti tidak menyombongkan dan membanggakan diri serta tidak pula menghinakan dan merendahkan diri secara berlebihan. Seorang ilmuwan tidak sepatutnya bersifat takabur dengan ilmun yang dimilikinya, sebab ilmunya tidaklah seberapa, apalagi jika dibandingkan dengan keluasan ilmu Allah. Dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’alim al-zarnuji menulis :
“seorang yang berilmu hendaknya tawadu’ (yaitu sikap tengah-tengah antar sombong dan kercil hati), berbuat iffah, yang keterangannya lebih jauh bisa kita dapati dalam kitab akhlak”.
Selanjutnya, ia mengutip perkataan gurunya, syekh Rukn al-Islam yang popular dengan sebutan al-Adib al- Muchtar, dalam bentuk syair yang berbunyi :
“tawadu adalah benar-benar merupakan budi pekerti orang taqwa , ia menanjak tinggi depngan sikap ini”.
Melihat pernyataan diatas, tampak sekali bahwa Al-zarnuji tidak mengabaikan sedikitpun tentang pentingnya sifat dan sikap tawadu’, khususnya bagi kaum ilmuan dan cendekiawan, karena memeang sudah demikian mestinya, ibarat filsafah hidup padi, semakin baerisi,maka semakin menunduklah ia.
Sedangkan mengenai pentingnya sifat wara’ dalam bidang pendidikan, al-zarnuji membahasnya secara spesifik dengan membuat bab khusus tentang wara’. Menurutnya, sifat wara’ di kala menuntut ilmu pengetahuan adalah mutlak harus di miliki. Ia mrngutip sebuah keterangan yang di sebutkanya sebagai hadist, yang artinya:”Rasulallah SAW: Barang siapa tidak wara’sewaktu mendalami ilmu, Allah SWT akan memberinya cobaan dengan salah satu dari tiga perkara, yaitu: mati dalam usia muda, ditempatkan di perkampungan bersama dengan orang-orsng bodoh, atau di jadikan pengabdi sang sultan/ penguasa”.
Berkenaan dengan keterangan ini, H. A. Mukti Ali memberikan komentar sebagai berikut: “melihat macam cobaan yang ketiga, inilah barangkali yang menyebabkan para ulama kita dulu mendirikan pondok pesantren di desa-desa yang jauh dari kekuasaan belanda. Sikap non kooperatif ulama terhadp penjajahan mungkin di sebabkan karena memahami hadis ini. Sudah barang tentu, penguasa di negri kita setelah merdeka (1945) ini tidaklah sebagai mana yang di maksud dengan “SULTAN” dalam hadis ini, karena pera penguasa kita tidaklah berusaha untuk mematikan ajaran islam“.
Selanjutnya, al-zarnuji menyebutkan beberapa upaya untuk menjaga sifat wara’ diantaranya adalah memelihara diri agar tidak makan terlalu kenyang, tidak terlalu banyak tidur dan tidak membicarakan sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat. Berkenaan dengan masalah menjaga lisan untuk tidak berbicara hal yang tidak perlu dan tidak berguna, al-zarnuji mengutip sebuah pesan seorang faqih dan zahid, sebagai berikut:
”jagalah dirimu dari ghibah dan bergaul dengan orang yang banyak bicaranya. Lalu katanya lagi, orang yang banyak bicaranya itu mencuri umurmu dan membuang sia-sia waktumu”.
Termasuk kedalam upaya menjaga sifat wara’, masih menurut al-zarnuji, adalah menghindari makanan yang di masak dengan sembarangan, misalnya di tepi-tepi jalan atau di pasar-pasar, bila mana mungkin. Sebab warung-warung di tempat itu mudah terkena najis dan kotoran. Makan di tempat-tempat seperti itu juga akan membuat seorang terlupa dari berdzikir kepada allah dan memancing fakir miskin untuk menikmati makanan itu, sementara mereka tidak membelinya. Hal ini akan membuat duka dan lara di hati mereka, sehingga keberkahan ilmu orang itu akan hilang.
Berapa hal lain yang juga termasuk ke dalam upaya memelihara sifat wara’ adalah seperti di kemukakan oleh al-zrnuji sebagai berikut:
“termasuk kedalam sifat wara’ adalah menghindarkan diri dari manusia yang suka berbuat kerusakan, maksiat dan pengangguran. Sebab, perkumpulan itu pasti membawa pengaruh yang tidak baik, menghadap qiblat waktu belajar, bercerminkan diri dengan sunah nabi, mohon dido’akan oleh ulama ahli kebajikan dan jangan sampai terkena do’a tidak baiknya orang teraniaya”.
Kesemuanya itu adalah termasuk wara’. Dalam pasal ini, al-Zarnuji pun menyampaikan beberapa etika menuntut ilmuyang merupakan implementasinya dasar-dasar ajaran islam yang luhur. (Suito & Fauzan: 2003, Hal: 201)
C. Etika Pembelajaran
Etika pembelajaran berkaitan erat dengan tata susila, norma-norma dan aturan-aturan, dalam proses belajar mengajar, menurut syekh Az-Zarnuji etika pembelajaran meliputi: bagaimana berniat dalam belajar, bagai mana memilih guru, teman, dan ketabahan di dalam belajar, kemudian bagaimana penghormatan terhadap ilmu dan ulama,bagaimana keseriusan, ketekunan, dan minat dalam belajar.
Dapat disimpulkan etika pembelajaran ialah suatu proses dalam mendapatkan dan mendapatkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan, sehingga ilmu itu bisa bermanfaat bagi kehidupannya, lingkungannya dan bangsanya, yang merupakan pola pembelajaran yang didasarkan pada niat yang tulus dan ikhlas yang disesuaikan dengan minat dan bakatnya, yang disampaikan oleh guru yang cerdas dan profeaional dan teman-teman sebaya yang saling mendukung dalam proses pembelajaran demi tercapainya tujuan pembelajaran. (Http: //achmadfaisal.blogspot.com)
D. Karakteristik Etika Pembelajaran
Dalam kitrabnya Ta’limul Muta’lim Syaikh Az-Zarnuji tidak tertera tentang karakteristik etika pembelajaran, namun ada beberapa hal yang menjadi catatan dan menarik perhatian, bahwa Az-Zarnuji memberikan rambu-rambu bagi para penuntut ilmu yaitu:
1. Niatkan mencari ilmu dengan tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah Swt,
2. Dalam memilih ilmu yang akan dipelajari (jurusan) disesuaikan dengan dirinya (minat dan bakatny), serta memilih guru harus orang yang alim (banyak ilmu/mumpuni), berasipt wara’ dan lebih tua.
3. Dalam bergaul carilah teman yang tekun belajar, bersipat wara’, bertawakal dan yang istiqamah. Ketiga hal diatas dapat dikatakan sebagai karakteristik pembelajaran menurut Al-Zarnuji (http://Warlijamahari.blogspot.com)
E. Pentingnya Etika Pembelajaran dalam Pendidikan Islam
Pendukung utama tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu. Proses pendidikan yang bermutu tidak hanya cukup dilakukan melalui trasformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga harus didukung oleh peningkatan propesionalisme dan sisrem manajemen tenaga pendidik serta pengembangan kemampuan peserta didik
Kemampuan ini tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi menyangkut aspek perkembangan pribadi, social, kematangan intelektual dan sistem nilai peserta didik, Diwilayah inilah etika pembelajaran berperan
Dunia pendidikan islam sudah sepatutnya memperhatikan wilayah garapan etika pembelajaran dan menerapkannya dalam proses berlangsungnya transper ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga akan melahirkan karakteristik pesertas didik yang memiliki kematangan mental, intelektual dan spiritual yang harus menjadi cirri khas dari model pendidikan islam. Sejalan dengan harapan diatas pendidikan islam di indonesia mau tak mau, siap tak siap, harus menerapkan etika pembelajaran yang sesuaio dengan ajaran islam dan tidak ketinggalan jaman dengan kemajuan teknologi, sehingga menghasilkan outcome yang berkualitas. Yang bersing dengan siapapun dan dengan model apapun. (http://Warlijamhari.com)
F. Biografi Syekh Az-Zarnuji
Kata syekh adalah panggilan kehormatan untuk mengarang kitab ini. Sedangkan Az-Zarnuji adalah nama marga yang diambil dari nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarniji diantara dua kata itu ada yang menulis gelar Burhaniddin (bukti kebenaran agama), sehingga menjadi syekh Burhanuddin Az-Zarnuji. Adapun nama personnya sampai sekarang belum diketemukan literature yang menulisnya. (aliy As’ Ad, “terjemah Ta’lim Muta’lim bimbingan bagi penuntut ilmu pengetahuan” kudus, menara kudus, 2007: ii)
Zarnuj masuk kota wilayah irak, Tetapi kota itu bisa saja kota itu dalam peta sekarang masuk wilayah Turkistan (Afganistan) karena berada di dekat kota khoujanda, memang tidak banyak diketahui tahun kelahiran Az-Zarnuji, tetapi diyakini beliau hi9dup dalam kurun waktu yang sama dengan Az-Zarnuji yang lain. Seperti halnya Az-Zarnuji kita ini, Az-Zarnuji lain yang nama lengkapnya tajudin nu’man bin Ibrahim \Az-Zarnuji juga seorang ulama besar dan pengarang wafat tahun 640 H/1242 M. Sedangkan wafatnya syekh Az-Zarnuji yang penulis buku Ta’limul Muta’lim wafat sekitar tahun 593 H. (ibid)
Adapun tahun wafat Az-Zarnuji itu masih harus dipastikan, karena ditemukan beberapa catatan yang berbeda-beda, yaitu tahun 591 H, 593 H, dan 597 H.
Syekh Az-Zarnuji belajar kepada para ulama’ besar waktu itu. Antara lain, seperti disebut dalamTa’limul Muta’allim sendiri, adalah:
Burhanuddin Ali bin Abu Bakar Almarghinani, ulama’ besar bermadzhab hanafiyang mengarang kitab Alhidayah, suatu kitab fiqih rujukan utama dalam madzhabnya beliau wafat tahun 593 H./1197 M.
Ruknul islam Muhammad bin Abu Bakar popular dengan gelar khowair zadeh atau imam zadeh. Beliau ulama besar ahli fiqih bermadzhab hanafi, pujangga sekaligus penyair, pernah menjadi mufti dibocharqa dan sangat masyhur fatwa-fatwanya. Wafat tahun 573 H./1177 M.
Syekh Hammad bin Ibrahim, seorang ulama’ ahli fiqih bermadzhab hanafi, sastrawan dan ahli kalam. Wafat tahun 576 H/ 1180 M.
Syekh Fakhruddin Alkasyani yaitu Abu Bakar bin Mas’ud Alkasyani, ulama’ ahli fiqih bermadzhab hanafi, pengarang klitab Bada.-I’us shana-I’. Wafat tahun 587 H/1191 M.
Syekh Fakhruddin Qadli Khan Al kuzjandi, ulama besar yang dikenal sebagai mujtahid dalam madzhab syafe’i, dan banyak kitab karangannya. Beliau wafat tahun 592 H/1196 M.
Rukhnuddun Al farghani yang digelari al adib almukhtar (sastrawan pujangga pilihan), seorang ulama ahli fiqih, bermadzhab hanafi pujangga sekaligus penyair. Wafat tahun 594 H/1198 M.
Melihat para guru beliau, maka syekh AzZarnuji adalah seorang ulama ahli fiqih bermadjhab hanafi dan sekaligus menekuni bidang pendidikan. Lessner, seorang orientalist, menyebutkan dalam ensiklopedinya, disamping ahli fiqih syekh Az- Zarniji juga dikaenal sebagai seorang filusup arab (Ali As’ad H. Drs.: 2007, ii)
G. Riwayat hidup Az-Zarnuji
Az-Zarnuji memiliki nama lengkap Burhanuddin Al-islami. Di kalangan ulama belum ada kepastian mengenai tanggal kelahirannya. Az-Zarnuji wafat tahun 571 H/1175), berasal dari suatu daerah yang bernama Afghanistan dan menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand, yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan dan pengajaran. masjid-masjid di kedua kota tersebut di jadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang di asuh oleh Burhanudin al-marginani, Samsudin Abdul Al-wajdi dan lain-lain.
Selain itu, Burhnudin Al-Zarnuji juga belajar kepada Ruknudin Al-firkinani seorang ahli fiqih, sastrawan dan penyair. Ada kemungkinan bahwa Al-Zarnuji selain ahli dalam bidang pendidikan dan tasauf, juga menguasai bidang lain seperti sastra, fiqih, ilmu kalam dan lain sebagainya.
Masa hidup Al-Zarnuji termasuk dalam period eke empat, yaitu antara tahun 750 sampai 1250 M periode ini merupakan jaman keemasan atau kemajuan pada pendidikan islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Demikianlah beberapa bagian dari isi kitab Ta’lim al-Muta’alim yang mengandung nilai-nilai tasawuf yang dapat dikemukakan dalam makalah ini. Dan ini bukanlah hasil usaha pnela’ahan yang final, artinya tidak menutup kemungkinan dilakukan tela’ah lebih jauh.
Dari pemaparan sederhana diatas dapat dilihat bahwa pendidikan sufiyang dijelaskan oleh al-Zarnuji ini cenderung bersifat akhlak yang sangat menekankan pada pendidikan akhlak mdan moral, yang akhirnya diharapkan akan melahirkan generasi cerdas yang berakhlak mulia.
Dan kitab ta’lim al-Muta’alim sendiri adalah merupakan literatur yang membahas strategi belajar dan konsep pendidikan yang dipadukan secara harmonis dengan konsep atau ajaran tasawuf. Sekalipun hal ini tidak disampaikan secara explisit oleh pengarang, namun konsep dan strategi pendidikan yang dikemukakannya terlihat sangat sufistik dengan bahasa yang selalu mengacu pada landasan etik-religi.
Akhirnya, aplikasi prinsip pendidikan seperti di gambarkan di atas dalam sistem pendidikan islam sekarang, tidak saja dirasa perlu tetapi harus dilakukan. Jauh pendidikan islam yang masih sejalan dengan tujuan pendidikan islam yang sebenarnya.
sumber : http://sulufiyyah.blogspot.com/2010/05/pendidikan-dalam-kajian-kitab-talim.html?showComment=1357231679326#c1919810456458116189
0 komentar:
Posting Komentar